Suling adalah salah satu alat musik tiup yang terdapat
di Jawa Barat, terbuat dari bambu jenis tamiang[1] dengan
panjang ukuran panjang 52 hingga 62 cm dan diameter 15 hingga 18 mm dengan
beberapa lubang. Satu lubang diikat dengan rotan yang telah ditipiskan sebagai
sumber suara, dan 6 hingga 9 lubang sebagai pangatur nada. Pada awalnya, suling
di dalam karawitan sunda terdapat dua jenis; pertama adalah suling lubang enam
(liang genep) biasanya digunakan dalam tembang Sunda cianjuran, gamelan degung
kreasi, kedua adalah suling lubang empat (liang opat) biasanya digunakan dalam
gamelan degung klasik dan tembang Sunda cianjuran. Tangga nada yang biasanya
terdapat dalam suling lubang enam adalah tangga nada pentatonis Sunda; salendro, degung
dan madenda, sedangkan tangga nada yang biasanya terdapat dalam suling lubang
empat adalah tangga nada pentatonis Sunda; degung.
Suling Liang Opat (lubang Empat)
Suling Liang genep (Lubang Enam)
Suling Liang Opat (lubang Empat)
Suling Liang genep (Lubang Enam)
Suling merupakan salah
satu alat tiup yang telah lama ada di dalam karawitan Sunda dan sejak tahun
1800-an suling telah mulai diketahui keberadannya, namun belum teridentifikasi
apakah suling liang genep (lubang
enam) atau suling liang opat (lubang
empat) terlebih dahulu. Hal tersebut diuraikan dalam tulisan Van Hoevell yang
dikutip oleh Van Zanten (1989:101) “…as
van Hoevell (1845:428) writes about the same small group of baduy that they
have a tarawangsa, a ‘ketjape’ (kacapi), and ‘a suling, a kind of flute, made
of bamboo and with fingerholes in it’…”.
Suling biasanya terdapat dalam kesenian tembang sunda
cianjuran, degung klasik, dan degung kreasi. Suling pertama kali digunakan di
dalam gamelan degung sekitar tahun 1900-1920, hal tersebut dinyatakan oleh Harrell
(1974:22,220) dan Tjarmedi (1974:10) yang dikutip oleh Van Zanten (1989:103); “The age of the suling degung, is less
certain. It may be fairly new instrument, and some sources say that it was added
to the gamelan degung around 1900-1920…”). Kemudian masih menurut Van
Zanten (1989:103), Suling lubang enam telah digunakan di dalam kesenian tembang
Sunda cianjuran pada akhir abad ke 19,
dan kemudian diikuti oleh suling lubang empat pada tahun 1970-an
Seiring dengan perkembangan kebutuhan musikal dalam
garapan karawitan Sunda dan keberadaannya dalam kesenian di luar karawitan Sunda,
kemudian jumlah lubang nada dalam sulingpun bertambah menjadi 7 hingga 9
lubang. Bertambahnya lubang nada tersebut menghasilkan perubahan nada dan
efektifitas memainkan suling. Jika tadinya satu suling hanya dapat membawakan
nada pentatonis degung dan madenda, maka dalam suling lubang 7, 8, dan 9 dapat
menghasilkan nada pentatonis salendro lengkap dengan modulasinya, serta tangga
nada diatonis dalam berbagai nada dasar dalam satu buah suling. Suling yang
ditambah lubangnya tersebut, kemudian disebut jenis suling lubang tujuh (liang
tujuh), suling lubang delapan (liang dalapan), dan suling lubang sembilan
(liang salapan). Sebutan jenis suling tersebut, berdasarkan jumlah lubang
pengatur nada yang terdapat dalam suling tersebut.
[1]
bambu yg tingginya mencapai 10 m dan garis tengahnya 2-4 cm, berwarna hijau
tua, berasal dr Indonesia menyebar ke Semenanjung Malaysia, Kamboja, dan
Vietnam, digunakan sbg bahan pembuat suling, joran, dan barang kerajinan
tangan; Schizostachyum blumei; (sumber: kbbi 3)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar